Kamis, 07 Juni 2012

hukum jual beli dalam islam


 


Kitab Jual Beli (1)


Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.”

Kitab Jual Beli (2)


Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar merupakan asas yang besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak tidak terbatas, seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya), bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan kepada pembeli, menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang masih dalam perut induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas, menjual sepotong pakaian dari kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya), menjual seekor kambing dari kumpulan banyak kambing (tanpa menentukannya), dan yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil, karena ia termasuk gharar tanpa ada hajat.” Beliau berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin berlindung darinya kecuali dengan masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele, maka boleh menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya menjual jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya dan kalau bahan pengisinya dijual secara terpisah maka tidak boleh.”

Khiyar (Memilih)


Khiyar yaitu mencari dua pilihan yang terbaik antara imdha (melanjutkan transaksi) atau ilgha (membatalkan transaksi). Khiyar Majelis : Khiyar ini terjadi bagi penjual dan pembeli sejak dilakukannya akad hingga keduanya berpisah, selama mereka tidak berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar atau mereka menggugurkan khiyar tersebut setelah akad atau salah satu dari mereka (baik pen-jual atau pembeli) ada yang menggugurkan hak khiyarnya, maka gugurlah haknya namun bagi pihak lain (yang tidak menggugur-kannya) maka hak khiyarnya masih tetap ada. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jika dua orang saling berjual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain, maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut sungguh telah (terjadi) jual beli, dan bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak mening-galkan jual beli maka telah terjadi jual beli.”

R i b a


Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu me-lihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di majelis tersebut. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.”

Muzara'ah


Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal tersebut.” Aku lalu bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau dirham?” Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang mengerti tentang halal dan haram melihat kepadanya, maka mereka tidak memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.” Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.”

Musaqah, Ihyaa-ul Mawaat


Al-Musaqah yaitu menyerahkan pohon tertentu (seperti kurma-pent.) kepada orang yang akan mengurusinya (dengan imbalan) ia mendapatkan bagian tertentu (pula) dari buahnya, seperti se-tengah atau sejenisnya. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma: “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata: “Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’” Al-Mawaat -dengan difat-hah mim dan wau yang ringan- yaitu tanah yang belum dimakmurkan (dibangun). Pemakmurannya diserupakan dengan kehidupan dan menganggurkannya (diserupakan) dengan hilangnya kehidupan. Dan yang disebut dengan ihyaa-ul mawaat adalah seseorang pergi ke suatu tanah yang tidak diketahui ada seseorang yang telah memilikinya, kemudian ia menghidupkannya dengan menyiraminya, bertani, menanami dan membangunnya sehingga dengan demikian tanah tersebut menjadi miliknya.

Ijarah (Sewa Menyewa)


Ijarah secara bahasa berarti al-itsaabah (pengupahan), dikatakan aajartuhu dengan mad (panjang) dan tanpa mad artinya atsabtuhu (aku mengupahnya). Secara istilah yaitu pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan. Pensyari’atan Ijarah, Allah Ta’ala berfirman: “...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...” Allah Ta’ala juga berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat serta dapat dipercaya.” Dan juga Allah berfirman: “... Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata), “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.”

Syirkah (Perserikatan)


Asy-Syirkah adalah al-ikhtilath (percampuran/persekutuan). Secara syara’ adalah apa yang terjadi dengan ikhtiyar antara dua orang atau lebih berupa percampuran (persekutuan) untuk menghasilkan laba/untung. Dan terkadang terjadi tanpa sengaja seperti warisan.” Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam as-Sailul Jarraar (III/246, III/248), “Perserikatan yang syar’i terjadi dengan adanya saling ridha antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar (menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari usaha dan keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung seukuran harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta perserikatan. Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata walaupun jumlah harta yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak. Dan dalam hal yang seperti ini tidak mengapa menurut syari’at, karena ia merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridha dan ke-relaan hati.”

Mudharabah

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa al-Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan) ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’

Salam (Pesanan)


Barangsiapa memesan suatu barang, maka dia harus memesannya dalam takaran dan timbangan yang diketahui hingga batas waktu yang diketahui.” Dalam akad salam tidak disyaratkan agar orang yang dipesan (al-musallam ilaih) memiliki barang yang dipesan (al-musallam fih). Diriwayatkan dari Muhammad bin Abi al-Mujalid, ia berkata, “'Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku kepada ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu, lantas keduanya berkata, ‘Tanyakan kepadanya (yaitu ‘Abdullah bin Abi Aufa), apakah para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di zaman beliau melakukan akad salam pada hinthah (gandum)?’ ‘Abdullah menjawab, ‘Kami dahulu melakukan akad salam dengan petani dari penduduk Syam pada gandum, sya’ir dan minyak (zait) dalam takaran yang jelas hingga batas waktu yang jelas pula.’ Aku bertanya, ‘Apakah kepada orang yang ia memiliki barangnya?’ Ia menjawab, ‘Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.’ Kemudian keduanya mengutusku kepada ‘Abdurrahman bin Abza, lalu aku bertanya kepadanya dan ia menjawab: “Dahulu para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan salam di zaman beliau dan kami tidak bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki tanamannya atau tidak.”

Qardh (Pinjaman)


Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Barangsiapa yang mati dan memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, (karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham.’” Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di tengah mereka, lalu beliau menyebutkan kepada mereka bahwa jihad fii sabilillah dan beriman kepada Allah adalah amalan yang paling utama. Kemudian seseorang berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana pertanyaanmu (tadi)?” Ia berkata, “Bagaimanakah pendapatmu apabila aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur, kecuali hutang karena sesungguhnya Jibril Alaihissallam berkata kepadaku akan hal itu.”

Rahn (Gadai)


Rahn secara bahasa adalah al-ihtibas (penahanan), diambil dari ucapan mereka, “Rahana asy-syai-a (jika ia berlangsung dan tetap).” Dan di antaranya pula firman Allah:“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Secara syara’ adalah menjadikan harta sebagai jaminan bagi hutang agar bisa dilunasi darinya jika yang berhutang berhalangan (udzur) dari membayar hutangnya. Tidak boleh bagi orang si penerima gadai (murtahin) untuk memanfaatkan barang yang digadaikan (rahn), sebagaimana yang telah lewat dalam masalah qardh (piutang): “Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba.” Kecuali bila barang gadai tersebut berupa tunggangan (kuda, keledai dan yang sejenisnya-penj.) atau sesuatu yang bisa diperah susunya (sapi, unta, kambing dan yang lainnya-penj.), maka ia boleh menaiki tunggangan tersebut dan memerah susunya jika ia memberikan nafkah (dengan memberi makan) kepadanya.

Hawalah, Wadi'ah


Hawalah dengan haa yang difat-hah dan terkadang dikasrah, diambil dari kata at-tahwil (memindahkan) atau dari kata al-ha-uul, dikatakan: haala ‘anil ‘ahdi idzaa intaqala ‘anhu ha’uulan (berpindah dari janji). Dan menurut para fuqaha adalah memindahkan hutang dari satu penghutang kepada penghutang lainnya. Barangsiapa yang mempunyai hutang sedangkan ia (sendiri) menghutangi orang lain, kemudian ia memindahkan hutangnya kepada orang yang berhutang kepadanya, maka wajib bagi orang yang memberi hutang untuk berpindah (dalam menagih hutang) jika orang yang dipindahkan hutang kepadanya (al-muhaal ‘alaih) kaya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Menangguhkan pembayaran hutang adalah zhalim, apabila seseorang dari kalian diminta supaya menagih hutang kepada orang kaya, maka hendaklah ia menagihnya

Ariyah (Pinjam Meminjam)


Definisi ‘Ariyah. Para fuqaha mendefinisikannya (yaitu) izin yang diberikan oleh pemilik barang kepada orang lain untuk memanfaatkan barang miliknya tanpa imbalan. Hukumnya mustahabbah (dianjurkan), sebagaimana firman-Nya Ta’ala:“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa...” Dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”. Seorang peminjam adalah dipercaya, ia tidak menjamin (atas barang yang dipinjamnya) kecuali jika ia lalai, atau orang yang meminjamkan memberi syarat jaminan kepadanya. Diriwayatkan dari Shafwan bin Ya’la dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Apabila utusan-utusanku datang kepadamu, maka berilah ia tiga puluh baju perang dan tiga puluh unta.’” Ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ia pinjaman yang dijamin ataukah pinjaman yang akan dikembalikan?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan akan dikembalikan.’” Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/69), “Al-Madhmuunah (dijamin) yaitu dijamin dengan harga apabila rusak. Sedangkan al-muaddaah (dikembalikan) yaitu wajib dikembalikan bersama utuhnya barang tersebut, apabila rusak maka tidak ditanggung dengan harga.”

Luqathah (Barang Temuan)


Barangsiapa menemukan barang, maka wajib baginya untuk mengetahui jenis dan jumlahnya, kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, kemudian ia menyimpannya dan diumumkan selama setahun. Apabila pemiliknya memberitahukannya sesuai ciri-cirinya, maka ia wajib memberikan kepada orang tersebut walaupun setelah lewat satu tahun, jika tidak (ada yang mengakuinya), maka ia boleh memanfaatkannya. Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku bertemu dengan Ubaiy bin Ka’ab, ia berkata, ‘Aku menemukan sebuah kantung yang berisi seratus dinar, lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda, ‘Umumkan dalam setahun.’ Aku pun mengumumkannya selama satu tahun, dan aku tidak menemukan orang yang mengenalinya. Kemudian aku mendatangi beliau lagi, dan bersabda, ‘Umumkan selama satu tahun.’ Lalu aku mengumumkannya dan tidak menemukan (orang yang mengenalnya). Aku mendatangi beliau untuk yang ketiga kali, dan beliau bersabda: "Jagalah tempatnya, jumlahnya dan tali pengikatnya, kalau pemiliknya datang (maka berikanlah) kalau tidak, maka manfaatkanlah." Maka aku pun memanfaatkannya. Setelah itu aku (Suwaid) bertemu dengannya (Ubay) di Makkah, ia berkata, ‘Aku tidak tahu apakah tiga tahun atau satu tahun.’”

Laqiith (Anak Temuan)


Laqiith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat di jalan atau tidak diketahui nasabnya. Apabila ditemukan di negeri Islam, maka dihukumi sebagai muslim dan dihukumi sebagai orang yang merdeka dimana pun ia ditemukan, karena hukum asal manusia adalah merdeka. Apabila ia membawa harta, maka ia diberi nafkah dari hartanya, kalau tidak maka nafkahnya diambil dari baitul maal. Dari Sunain Abu Jamilah -seseorang dari Bani Sulaim- ia berkata, “Aku menemukan seorang anak, lalu aku membawanya menemui ‘Umar bin al-Khaththab, maka berkatalah ‘Uraifi, ‘Wahai Amirul Mukminin, sungguh ia adalah orang yang shalih.’ ‘Umar berkata, ‘Apakah benar ia seperti itu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Umar berkata, ‘Bawalah ia, dan ia merdeka dan engkau mendapatkan wala’nya, dan kewajiban kami (baitul maal) memberikan nafkahnya.’” Apabila anak temuan meninggal dan ia meninggalkan warisan serta tidak meninggalkan ahli waris, maka warisannya menjadi milik baitul mal demikian pula diyat (denda)nya jika ia dibunuh.

Hibah (Pemberian/Hadiah)


Dari Kuraib, maula Ibnu ‘Abbas, bahwa Maimunah binti al-Harits Radhiyallahu anhuma (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) memberitahukan kepadanya bahwa ia memerdekakan budaknya dan belum izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tatkala datang hari gilirannya, ia berkata, “Wahai Rasulullah apakah engkau merasa bahwa aku telah memerdekakan budakku?” Beliau menjawab, “Apakah engkau telah melakukannya?” Ia berkata, “Ya.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau memberikannya kepada bibi-bibimu, maka itu lebih besar pahalanya untukmu.” Dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya. Maka ibuku, (yaitu) ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha hingga engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka, ayahku berangkat menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mempersaksikannya atas sedekahku. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:

Umra Dan Ruqba


Keduanya adalah suatu bentuk pemberian yang terbatas dengan waktu. Adapun ‘umra dengan didhammah dan mim sukun beserta alif di akhirnya diambil dari kata ‘umur. Adapun ruqba dengan timbangan (wazan) umra diambil dari kata muraqabah (mengawasi). Karena mereka dahulu melakukannya di masa Jahiliyyah (yaitu) memberikan rumah kepada sese-orang seraya berkata kepadanya, “Aku menyuruhmu untuk me-makmurkan rumahku.” Atau, “Aku membolehkanmu untuk mendiaminya sepanjang umurmu.” Maka, dikatakan ‘umra karena sebab ini. Demikian pula dikatakan dengan ruqba karena setiap dari keduanya saling mengawasi kapan yang lainnya meninggal sehingga ia (rumah tersebut) kembali kepadanya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganggap pembatasan waktu ini batal/ terhapus, dan beliau menjadikan setiap dari ‘umra dan ruqba milik orang yang diberi selama hidupnya dan bagi ahli waris setelahnya dan tidak kembali kepada si pemberi. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:‘'Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.diberinya.’”

Ghashb (Merampas Harta Orang Lain)


Ghashb yaitu merampas hak orang dengan cara yang tidak dibenarkan. Ghashb adalah perbuatan zhalim dan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” Dan juga firman-Nya Ta’ala: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil...” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbatul Wada’: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.”

Syuf'ah


Syuf’ah dengan mim dhammah dan faa sukun, ia adalah bahasa yang diambil dari kata asy-syaf’u artinya az-zauj (pasangan). Secara syara’ yaitu berpindahnya bagian seorang sekutu kepada sekutu yang lain yang sebelumnya berpindah kepada orang asing dengan pengganti yang sama yang telah ditentukan. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” Barangsiapa yang memiliki sekutu pada tanah, tembok, rumah atau yang sejenisnya, ia tidak boleh menjualnya kepada orang lain sehingga ia menawarkannya terlebih dahulu kepada sekutunya tersebut, apabila ia menjual sebelum menawarkan kepadanya, maka ia yang lebih berhak akan barang yang dijual tersebut. Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memiliki pohon kurma atau tanah, hendaklah ia tidak menjualnya sehingga ia menawarkannya kepada sekutunya.”

Wakalah (Memberi Kuasa)


Wakalah dengan wawu difat-hah dan terkadang dikasrah arti-nya at-tafwidh (menyerahkan) dan al-hifzhu (menjaga). Engkau mengatakan, “Wakkaltu fulaanan idzaas tahfazhtuhu (artinya aku meminta si fulan untuk menjaga).” “Wakkaltul amra ilaihi idzaa fawwadhtuhu ilaihi (artinya, aku menyerahkan urusan kepadanya).” Adapun secara syara’ yaitu seseorang menempatkan orang lain pada kedudukan dirinya secara mutlak atau muqayyad (terikat). Wakalah disyari’atkan dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta ijma’ umat. Allah Ta’ala berfirman: “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini).’ Mereka menjawab, ‘Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi), ‘Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali men-ceritakan halmu kepada seorang pun.’”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;