Kategori Adab Dan Perilaku
Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda
dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti
memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam
kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang
sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah salah seorang dari
kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun
bersungguh-sungguh". Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu
mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa
takut. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain".
Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk
bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh. Berdusta saat
bercanda. Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan
berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini
tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang
meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana
di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia
sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang
memperbaiki akhlaknya".
Dunia kesenian dan panggung hiburan zaman sekarang sangat bervariasi.
Mulai dari tayangan sinetron religi, pentas dangdut, konser nasyid
marawis, pertunjukan ketoprak, film komedi, festival gambus hingga
manggungnya para pelawak. Semuanya bertujuan untuk menghibur para
pemirsa atau penonton yang sedang mengalami letih batin, capek pikiran
dan lelah badan. Bahkan maraknya tayangan entertainment (pertunjukan) di
layar televise bertujuan menghibur para pemirsa, akhirnya para ustadz
setengah artis dengan tampilan nyentrik dan ganteng, ikut ambil bagian.
Ironisnya, muatan hiburan jarang ditakar dengan norma Islam, hingga
hiburan yang disebut islamipun banyak yang melenceng dari aturan agama,
bahkan lebih cenderung bebas dan bias, jauh dari kendali syariat.
Apalagi kepentingan materi menjadi dominan, target keuntungan menjadi
pertimbangan utama, dan kepuasan penonton sebagai prioritas. Sehingga
bisa dipastikan, hiburan jenis apapun tidak sepi dari kebatilan dan
kemungkaran. Sementara penonton, rata-rata tertarik dengan segala yang
berbau syahwat, semua yang bersifat hura-hura, dan tayangan beraroma
pornografi. Selingan hidup untuk mengusir bosan dan capek dengan canda
dan tawa merupakan sifat bawaan manusia, sebagai bumbu pergaulan dan
garam kehidupan, karena semua orang kurang betah dengan suasana tegang
dan hidup tanpa sisipan humor.
Berkaitan tentang cakupan makna berbuat ihsan kepada tetangga,
Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam
perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan, misalnya
berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu
dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia
butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa
tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak
mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling
dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih
dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang
tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka
berdua?". Beliau menjawab. "Kepada tetangga yang lebih dekat pintu
rumahnya denganmu". Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab
khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (bab hak
tetangga yang terdekat pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman
pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini". Lebih lanjut,
Syaikh Nazhim memaparkan,"Tetangga memiliki beberapa kriteria
tingkatan: Yang pertama, tetangga muslim yang memiliki hubungan
kekerabatan, ia memiliki 3 hak sekaligus, yaitu hak bertetangga, hak
Islam dan hak kekerabatan. Yang kedua, tetangga muslim (yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki 2 hak, yaitu hak
bertetangga dan hak Islam.
Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: ‘Kerjakanlah amalan
yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu’ . Sementara
Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: ‘Di
dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan
yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi
ditinggalkan’. Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak
rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan
mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka: Al Qurthubi
berkata: ‘Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan
berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak
lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh
konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya
disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang
meninggalkannya’. Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan:
‘Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi
putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit,
bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus,
demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya
menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit
tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan
banyak tapi ditinggalkan”.
Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan
perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang
dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari
mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan
syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan
mendalami agamanya. Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu
seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah.
Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena
si empunya tak menjawab salamnya. Masih banyak kaum muslimin yang
menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila
si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya.
Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu
merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat
berbahaya. Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di
dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat
perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak
dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh
pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah
curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah
akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi
jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi),
yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin
pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang kami tugaskan
dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya,
maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)". Asy
Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya
(haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah)
yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang
diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi). Dalam hadits tersebut
maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan
secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada
dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang
menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas
mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak
jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari
harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang
menugaskannya.
0 komentar:
Posting Komentar