Kamis, 03 Mei 2012

Memajukan Wilayah Yang Belum Maju

Anas hidayat, S.Pd, MA.
 Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia secara legal formal telah merdeka lebih dari setengah abad. Pada bulan Agustus 2011, Indonesia telah memasuki usia kemerdekaanya yang ke-66 tahun. Dalam usia tersebut, rupanya kemiskinan masih menjadi permasalahan dan isu terpenting bangsa kepulauan ini. Beraneka program pembangunan, pemberdayaan masyarakat, bantuan-bantuan sosial, dana insentif, hibah, penguatan modal, maupun pinjaman telah digulirkan di negeri ini, tetapi masih saja banyak daerah dan desa yang tertinggal pada berbagai aspek. Pembangunan dan program-program strategis masih terfokus di pulau Jawa, sedangkan pulau-pulau di luar Jawa masih banyak yang belum tersentuh pembangunan dengan ideal dan merata.
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KNPDT) merilis bahwa, hingga bulan November 2011 ini jumlah daerah tertinggal tercatat 183 kabupaten dan 70 persen atau 128 di antaranya berada di kawasan timur Indonesia. Daerah tertinggal tersebut pada umumnya adalah daerah-daerah terpencil di Indonesia timur dengan geografis berada di kepulauan, perbatasan dan lokasinya terpencil. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menargetkan sebanyak 50 daerah tertinggal yang tersebar di 183 kabupaten dapat dituntaskan melalui percepatan pembangunan sampai 2014. Dari data 183 Kabupaten tertinggal tersebut, jumlah desa yang tertinggal sebanyak 26.746 desa atau 35,47% dari total 75.410 desa yang ada di Indonesia (Nugrayasa, 2012).
Program percepatan pembangunan daerah-daerah tertinggal di Tanah Air diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Pentingnya membangun desa ini dilandasi karena alasan desa merupakan modal dasar pembangunan serta solusi bagi perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, juga sebagai basis perubahan pembangunan nasional untuk mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah. Semakin desa maju, sejahtera dan sejajar dengan kota ataupun desa yang sudah maju terlebih dahulu, maka secara otomatis negara juga akan ikut berkembang dan maju (Nugrayasa, 2012). Pembangunan daerah tertinggal pada prinsipnya, diprioritaskan pada kebutuhan enam dasar, yakni infrastuktur jalan, sarana komunikasi, kesehatan, pendidikan, air bersih, dan listrik. Selama ini, daerah-daerah tertinggal kondisi infrastukturnya masih sangat buruk dan memprihatinkan.

Minimnya akses terhadap berbagai kebutuhan dasar tersebut akan menyebabkan tertinggalnya kemajuan suatu daerah. Semua kebutuhan dasar tersebut sangat diperlukan untuk mendukung serta menunjang berbagai pembangunan perekonomian daerah. Lemahnya akses terhadap anasir-anasir kebutuhan mendasar tersebut secara linier akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa-desa tertingga. Dalam kasus tertentu kelemahan akses tersebut juga dapat menyebabkan stagnasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat di daerah-daerah yang masih tertinggal.
Kondisi ketertinggalan tersebut sangat erat korelasinya dengan tingkat kemiskinan. Secara praktis, di daerah-daerah tertinggal jumlah penduduk miskin berada pada angka yang sangat besar. Keterbatasan akses dalam berbagai tersebut menjadi faktor pembatas bagi aktivitas masyarakat desa dalam kegiatan ekonomi riil. Kondisi keterbatasan ini menjadikan masyarakat suatu desa sangat sulit untuk lepas dari jeratan kondisi kemiskinan.
KemiskinanKekeringan
Berbagai strategi nasional dan program pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan di desa dan daerah tertinggal selalu diluncurkan. Salah satu model bersejarah yang cukup monumental bagi bangsa Indonesia adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selain itu, banyak program lainnya yang digulirkan untuk mendukung program tersebut, salah satu di antaranya adalah pembiayaan melalui berbagai jenis kredit usaha untuk rakyat miskin di pedesaan. Pengentasan kemiskinan ini secara sistemik dan kelembagaan juga ditangani oleh suatu Kementerian Negara yang khusus menyelesaikan permasalahan di daerah-daerah tertinggal yang selalu identik dengan adanya simpul-simpul kemiskinan. Meskipun demikian, persoalan daerah tertinggal dan tingkat kemiskinan di desa-desa masih cukup memprihatinkan.
Strategi dan jalur (pathways) untuk mengentaskan kemiskinan merupakan suatu pola yang disusun secara terpadu. Satu tindakan sektoral saja belum cukup dan harus bersinergi serta saling melengkapi dengan berbagai tindakan lintas sektoral yang lain. The World Bank (2008) dan Asian Development Bank (2008) telah memformulasikan tiga pathways untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada di perdesaan, yaitu: peningkatan produktivitas pertanian dalam arti luas, pembangunan sektor nonpertanian termasuk industri maupun jasa di perdesaan, serta migrasi sebagian penduduk desa ke kota untuk belajar maupun bekerja di sektor industri dan jasa.
Kondisi desa-desa di Indonesia sebagian besar masih sangat identik dan didominasi dengan sektor pertanian sebagai sumber utama penghidupan masyarakatnya. Peningkatan produktivitas pertanian menjadi hal yang sangat penting untuk peningkatan ekonomi lokal. Peningkatan produktivitas pertanian ini mencakup pertanian dalam arti luas meliputi perkebunan, kehutanan, perikanan, dan juga peternakan. Dukungan dari pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk meningkatkan akses petani lokal terhadap perkembangan inovasi teknologi produksi, pembiayaan produksi, promosi dan perluasan pasar, serta informasi-informasi penting berkenaan dengan dunia pertanian. Selain itu, perlu dukungan pembangunan infrastruktur seperti irigasi, sarana dan prasarana produksi, insentif dan investasi, akses jalan, dan pasar desa.
Selain itu, jalur strategi yang kedua adalah akselerasi pembangunan sektor nonpertanian di perdesaan. Hal ini menjadi pertimbangan penting juga karena beban desa dan sektor pertanian secara umum untuk menyangga pembangunan desa sudah sangat berat, maka diperlukan pembangunan sektor nonpertanian di desa. Di satu sisi yang lain, jumlah penduduk desa terus bertambah, tetapi di sisi yang lain daya dukung lahan sangat terbatas.
Tekanan yang besar pada sektor pertanian berlangsung terus menerus akan menyebabkan terjadinya gejala involusi pertanian (agricultural involution) sebagaimana ditengarai oleh Clifford Geertz (1969). Sektor strategis dari industri perdesaan akan menjadi jalan alternatif sebagai sarana bagi masyarakat desa agar tidak semakin membebani kapasitas daya dukung pertanian yang terbatas. Akselerasi pengembangan sektor nonpertanian bisa mencakup bidang industri maupun jasa yang terkait ataupun yang tidak terkait dengan pertanian.
Stimulasi penumbuhkembangan usaha kecil, menengah, dan mikro (UMKM) sebagai industri rumah tangga yang mengolah produk pertanian lokal, pengembangan industri kerajinan yang dinaungi oleh Dewan Kerajinan Nasional – Daerah (Dekranasda), serta rintisan usaha jasa di perdesaan akan menjadi sangat strategis peranannya dalam menampung dan memberdayakan angkatan kerja di perdesaan, terutama para pemuda desa yang putus sekolah maupun menganggur.
Sepertihalnya pembangunan strategis di sektor pertanian, pembangunan industri di perdesaan juga perlu didukung oleh adanya pembangunan infrastruktur seperti sarana dan prasarana produksi, jalan, pasar, lembaga keuangan daerah, dan pengembangan mitra kerja dengan industri menengah. Industri menengah serta besar dapat menguatkan pembangunan jaringan kemitraan dengan menekankan pada aspek kualitas produk melalui bimbingan teknis, bantuan permodalan maupun pemasaran dengan ikatan rasa saling percaya (trust) dan saling menghargai antara pihak bermitra. Salah satu model dalam kemitraan industri rumah tangga, menengah, dan industri besar dapat diambil dari kisah sukses industri otomotif dan peralatan rumah tangga di Jepang. Industri otomotif besar di Jepang melakukan job sharing dengan industri-industri kecil lainnya untuk penyediaan bahan baku, suku cadang, dan onderdil lainnya. Industri-industri yang lebih besar membeli barang-barang pendukung yang diperlukan dalam produksinya dari industri-industri kecil yang sedang berkembang. Hal ini menjadi sangat harmonis karena pola kerja tersebut dapat menjadi atmosfer yang kondusif untuk berkembang secara bersama-sama (growing together), tidak saling memonopoli, serta tidak saling menjatuhkan.
Penyuluhan dan Kerjasama Pertanian bersama BIC   BIC bersama masyarakat membangun kolam
Jalur strategi yang ketiga adalah dengan melakukan migrasi sebagian dari penduduk desa ke sektor industri dan jasa di perkotaan untuk bekerja maupun belajar. Strategi ini juga akan mampu mengurangi beban berat tanggungan sektor pertanian di perdesaan.

Langkah ini juga sekaligus dapat memberikan ruang kesempatan bergerak yang cukup leluasa bagi penduduk yang tetap tinggal di desa untuk bertani dengan lebih efisien dan produkif. Kemanfaatan dari adanya migrasi ini adalah dengan pengiriman sebagian dana (remitance) maupun pengetahuan baru untuk anggota keluarganya yang tetap tinggal di desa. Dana dan pengetahuan baru ini dapat mendongkrak kebutuhan permodalan kerja serta menjadi investasi yang produktif baik di sektor pertanian maupun nonpertanian di perdesaan. Pada akhirnya juga akan menggerakkan roda sektor ekonomi riil desa dan sangat potensial untuk mereduksi tingkat kemiskinan maupun pengetahuan di desa.
Diskursus mengenai pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak cukup jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan desa juga harus selaras dengan sektor lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi seperti peningkatan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, listrik, dan sarana komunikasi. Interaksi dengan berbagai sektor strategis tersebut akan terakumulasi menjadi kesejahteraan masyarakat dan tidak hanya kemakmuran ekomomi belaka.
Selain itu, peranan terintegrasi dari semua stakeholder juga sangat dibutuhkan untuk menguatkan percepatan pengentasan daerah-daerah tertinggal. Meskipun sudah ada Kementerian Negara yang khusus menangani daerah tertinggal dan kemiskinan, aksi pengetasan kemiskinan di perdesaan juga perlu dilaksanakan dengan sangat serius oleh sektor swasta maupun sektor ketiga (intermediator) dan merupakan sinergi peran lintas sektoral. Departemen teknis yang teraktivasi dalam Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) secara institusional mungkin memiliki program masing-masing sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi), akan tetapi jika tidak dikoordinasi melalui suatu sistem penggerakan ekonomi yang terpadu bersama dengan departemen teknis lainnya, tampaknya fungsi guna dan dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat belum akan optimal.
Pembangunan daerah tertinggal dan pengentasan kemiskinan haruslah menjadi kegiatan yang terintegrasi. Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program perlu dilakukan secara bersama oleh departemen teknis terkait. Perlu adanya kesepahaman dan paradigma berpikir yang disepakati bersama dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat segera tercapai.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;